Laman

Senin, 01 Oktober 2018

IMPIAN YANG TERTUNDA

                Malam yang sunyi datang, bulan purnama mulai  menampakkan cahayanya yang terang. Kupandangi bintang yang menari-nari diatas awan. Angin pun menyapa seolah ia hadir sebagai pelengkap, bertiup sepoi-sepoi merasuk kedalam tulang-tulang bak menyejukkan jiwa yang kelam.
                Ketika impian datang, pikiranku pun berputar . entah apa yang ingin diputar hanya malam yang akan menerka. Jantung mulai berdebar, tulang rusukku ikut bergetar seakan mereka yang menyaksikan impian yang datang.
                Didepan mata terbayang sesosok gadis manis berhijab, memakai jas putih dan tersenyum seperti rembulan yang cerah. Gadis itu pergi membawa alat yang tak lain adalah perlengkapan dokter. Tiba-tiba… bayangan itu hilang oleh kakak yang sengaja megagetkanku.
                “Doooooooooorrrrrrrrrrrrrrrr” sambil menepuk pundakku
                “Hhhhzzz…. Huh ngagetin aja” dengusku ke kakakku yang suka jail
               “nglamunin apa toh??? dari tadi dipanggil-panggil gak nyaut-nyaut, kalau gini marah-marah gak jelas” celotehnya
                “ahhh… belum cukup umur gak bakal ngerti urusan anak kecil” isengku
                “ohhhh…. Masih kecil toh??? Belum dewasa berarti yaa??? Kasian…”
                Sewot aja… eh kak jadi dokter itu apa enak???” tanyaku penuh penasaran
                “gak enak” jawabnya
                “kenapa kog gak enak???”
               “iya soalnya dokter itu susah pas kuliah tapi mudahnya pas dia udah dilokasi kerja” jelasnya sambil menatapku penuh heran.
                “kalau perawat kak???”
                “ kalau kamu mau kuliah diAKPER, dijamin enak Cuma pas kamu kerja nanti bakal banyak yang akan kerja jadi perawat”
                “lalu yang mudah apa kak???”
                “mau tau aja apa mau tau banget”
                “aku serius ini”
                “aku duarius deh”
                “ahhh tau deh”
                “ngambek”
                “enggak… siapa juga yang ngambek??”
              “kenapa kamu nanya-nanya gituan, bukannya kamu udah punya cita-cita, emang cita-cita kamu apa???” Tanya kakak dengan mencubit tanganku.
                “aduhh sakit… aku pengen jadi dokter, itu cita-citaku mulai kecil biar aku bisa bantu orang-orang sakit. Supaya mereka nanti bisa sembuh.”
                “kamu gak pengen jadi guru apa???” sahut ibuku
                “gimana yaa.. aku gak tertarik sepertinya, bu!!!”
                “padahal jadi guru itu enak”
                “pengangkatannya lama kan???”
                “iya kalau dijawa kalau diluar jawa yaa mudah toh”
                “a…. yang mau keluar jawa loh males bu, disana sepi gak seramai dijawa sini”
                “disana kan banyak hutannya, lah disini kan gak ada hutan, yaa mbok jangan disbanding-bandingkan toh yaa jelas beda jauh”
                “tapi aku pengen jadi dokter, bu”
                “jangan, ndok!!! Abi takut kamu gak kuat kuliah kedokteran” sahut ayahku
                “tapi aku pengen, yaudah bi aku kuliah di AKPER aja yaa???”
                “iya wes gak apa-apa”
                “beneran”
                “iya”
                Malam pun semakin gelap, tapi bulan masih tetap bersinar terang, mataku mulai sayu itu pertanda aku harus tidur, tuk memenuhi sunnah rasul. Bantal gulingku pun memanggik-manggil dan aku bergegas tidur.
                “bunda.. abi.. aku tidur”
                “iya.. jangan lupa berdo’a dulu”
                “iya.. selamat malam”
                “malam”
                Akupun tidur dengan lelap dan bermimpi dengan indahnya malam hingga saat itu aku tak sadar, pagi telah hadir matahari mulai muncul dari tempat persembunyiannya, bulan pun hilang saat matahari muncul. Tiba-tiba….
                “ayo bangun”
                “aaaaaa… masih ngantuk” sambil menggeliatan badan.
                “ikut gak kepantai, gak ikut yaa Alhamdulillah kalau iut yaa ayo”
                “kepantai sekarang??? Masih pagi tau!!” celetusku
                “yaudah kalau gak ikut, Alhamdulillah mobilnya longgar kalau kamu gak ikut” jailnya.
                “aaaaaaa… enggak-enggak aku ikut, wekk!!!”
                “yaudah cepat mandi sana”
                “iya bawel,” aku pun bergegas kekamar mandi.
                Setelah itu, aku dan kelurga berangkat kepantai dengan mengendarai mobil. Tak lama kemudian kita telah sampai ditempat tujuan. Kita pun turun dari mobil dan berjalan menuju pantai.
                “horee kita sampai”
                “iya.. jangan lupa kameranya”
                “oke”
                Ketika aku melihat ombak yang menggulung-gulung melukiskan pasang surut kehidupan. Menepis menjauhi  pantai ketika ia datang perlahan menuju imajinasi. Butiran pasir setiap saat dapat berubah menghantui sii pejalan kaki. Karamnya sampan tersebut ia perhatikan, hancur runtuh dan tak dapat dibenahi kembali. Partikel zat cair menghujani tumpukan ikan-ikan asing yang terjemur sore lalu. Ketika merendamnya dengan air garam, sehari semalam menunggu rasa asin itu muncul supaya kucing garong tetangga sebelah tak bisa mencuri pandang. Air laut warna biru adalah penghujung masa setelah kita berada dipantai balik cakrawala. Berebut merebahkan badan. Nandang berperang menguntai keberkahan. Kita pun bermain dengan air dan ombak, pasir putih yang indah dan setelah itu kita pun diajak pulang.
                “ayo pulang, udah siang”
                “ahh… masih pengen main bunda”
                “ayo… cepetan”
                “iya” sambil aku jalan menuju mobil.
Tiba-tiba dalam mobil ayahku berbicara.
                “kamu nanti jadi kuliah dimana??? Tanya abiku
                “AKPER MALANG” jawabku dengan senang.
                “ahh.. ngapain kuliah di AKPER” celetus kakakku
                “iya enakan ngambil sastra”
                “lah… betul itu, nanti kamu bisa jadi dosen”
                “biarin wes, cita-cita dia yang nentuin” jawab ayahku dengan nada halus
                “yee.. aku nanti jadi perawat”
“hadeeeehh"
sesampainya dirumah tiba-tiba ayahku berkata tentang cita-cita yang ingin kuraih dan itu sangat
mengecewakanku.
“cha” panggil ayahku
“iya,bii” jawabku
“ndok, gimana kalau kamu ngambil sastra saja, soalnya kalau kamu ngambil kesehatan  peluangnya sangat kecil ndok”
“tapi, bi aku pengen ngambil kesehatan” sambil menangis
“pikirin lagi yang matang , ndok !!! jangan sampai nyesel belakangan, takutnya nanti kamu gak dapat kerjaan, gimana???”
“iya, bii” jawabku dengan isak tangis yang mendalam
“iya cha, mending kamu ngambil sastra aja” pinta ibuku
“iya… lebih enak, peluang banyak” jawab kakakku
“aaaaa… sumpek” aku marah dan beranjak menuju kekamar
“yeee.. ngambek” jail kakakku
“berisik” sentakku
 Aku menangis dalam kamar, menumpahkan air mata dalam kesedihan. Rasa sakit yang kurasa sangat sakit dan sangat mendalam, kecewa tak dapat ku tahan. Perih saat hati tergores keinginan yang tak kesampaian. Derita akan kujalani sendiri hingga waktu akan menentukan jawaban. Hingga suatu saat mampu menaqhan dan memendam keinginan demi kebahagiaan orang tua yang kusayang. Dan aku pun setuju untuk berkecimbung didunia sastra.
“bii.. aku mau kuliah disastra”
“Alhamdulillah” jawab abi dan bundaku.
“yaa… harus mau toh!!! Usil kakakku
“tapi aku gak mau pas aku ngambil sastra jurusan apa yang aku pengen ditentuin kalian lagi” pintaku dengan nada agak keras.
Iya, mau ngambil apa???” abiku pun bertanya
“aku mau ngambil sastra daerah, karena sastra daerah jarang di Indonesia. Insyaallah nanti aku akan melanjutkan S2 dan aku nanti akan jadi seorang professor sastra daerah, jadi abi sama bunda dan terutama kakak, jangan melarang aku untuk cita-citau yang ini” jelasku
“oke” kakakku pun menjawab dengan mengacungkan jempolnya
“iya kalau itu terserah kamu” abi dan bunda pun menjawab.
“oke” jawabku
Dan sekarang semua orang ayah, bunda dan kakakku tak pernah bertanya-tanya lagi jurusan  apa yang akan ku ambil, dan aku pun lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar